Terinspirasi kuliah Filsafat Ilmu pertemuan kelima Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Pada hari Kamis, 16 Oktober 2014
Pukul 09.30 – 11.10 di ruang 201A Gedung Lama PPs UNY
Direfleksikan oleh Weni Gurita Aedi
Pend. Matematika B (S2)
14709251012
Mengajukan Berbagai Pertanyaan Sebagai Salah Satu Metode Belajar Filsafat
Kuliah
Filsafat Ilmu pada pertemuan ke lima ini, kembali Prof. Marsigit, M.A.
memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan
ditulis di kertas, minimal satu pertanyaan dan dikumpulkan. Pertanyaan bebas
mengenai apa saja.
1.
Pertanyaan pertama
dari saudara Aminullah yaitu “Apakah semua hal yang kita pikirkan atau kita
alami harus mampu direfleksikan?”
Pertanyaan ini
telah membuat syarat/keadaan tertentu yang dalam hal tertentu bisa melanggar
atau tidak harmonis dengan ruang dan waktu. Satu sifat itu berdimensi meliputi
yang ada dan yang mungkin ada. Itu baru satu sifat yang diperdalam, padahal
manusia mempunyai sifat yang misal diekstensikan pun meliputi yang ada dan yang
mungkin ada. Kita sendiri tidak mampu menyebut semua sifat yang kita punya.
Apalah daya pikiran kita untuk mengungkapkan semuanya. Itulah kemudian yang
diakui oleh Socrates bahwa ternyata pada akhirnya “aku tidak mengerti apapun”.
Apabila semua yang kita pikirkan direfleksikan. Maka akan direfleksikan kepada
siapa dan dimana? Jawabnya adalah refleksikan kepada yang ada dan yang mungkin
ada, hubungan dunia yang satu dengan yang lain adalah hubungan antara yang ada
dan yang mungkin ada. Semua yang dipikirkan tidak mungkin bisa direfleksikan,
ada batasannya. Yaitu dibatasi oleh ruang dan waktu, ruang dan waktunya yaitu
etik dan estetika.
2.
Pertanyaan kedua dari
saudara Daud yaitu “Kenapa tingkat teratas itu adalah hati dan apakah ada
tahapan-tahapan batasan hati kita?”
Urutan dari
yang paling bawah ada material, formal, normatif, dan spiritual. Pendapat itupun
sudah dilawan oleh Augustecomte, ia sudah menaruh spiritualitas di paling
bawah. Pada kehidupan dunia sekarang ini ternyata bukan spiritualitas yang
paling tinggi. Karena bukan spiritualitas, maka trend internasional, mood nya
bukan dalam kerangka spriritualitas. Jadi itulah sebabnya maka mau tidak mau
apabila kita ingin konsisten dengan budaya kita dengan kehidupan kita ya seperti
itulah teorinya.
3.
Pertanyaan dari
saudara Siti Nafsul Mutmainah yaitu “Apa bedanya egois, mandiri, dan pribadi?”
Pertanyaan ini
masuk ke ranah ilmu bidang. Ilmu filsafat berbeda dengan ilmu psikologi. Kalau
psikologi ada filsafatnya yaitu pengendalian dan ditambah action atau
perlakuannya. Sebenarnya manusia hidup itu dibekali dua potensi yaitu potensi
fatal dan potensi fital. Potensi fatal itu adalah dia mengikuti suratan
takdirnya, dan suratan takdirnya itupun ternyata dipengaruhi oleh ikhtiarnya.
Kalau sekarang ikhtiar kita juga potensi kita sebagai wanita, maka itulah
takdir kita sebagai wanita. Takdir berikutnya setelah kita berikhtiar, ikhtiar
kita di dalam dunia wanita, berarti dengan menggunakan prinsip-prinsip,
hukum-hukum, dalil dan teorema, ketentuan teori-teori yang dibuat manusia dua
puluh tahun lagi kita bisa membayangkan sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai
anak, dan kemudian menjadi nenek. Membaca takdir adalah urusan dunia. Disinilah
pentingnya berfilsafat, kita berusaha, berikhtiar untuk mampu mengetahui yang
ada dan yang mungkin ada. Namun, dalam batas semampu kita walaupun tidak ada
seorangpun yang mampu mengetahui semua yang ada dan yang mungkin ada. Maka
sebenar-benar manusia adalah manusia yang sempurna ciptaan Tuhan dalam ketidaksempurnaannya.
Beruntunglah karena kita diberi keterbatasan, sehingga kita bisa mengetahui
hidup ini, memaknai hidup ini, karena keterbatasan itu.
4.
Pertanyaan keempat
dari Saudara Tesi Kumalasari yaitu “Filsafat ditulis dalam keadaan jernih, saat
pikiran dan hati kacau apakah kita boleh berfilsafat?”
Ketika kita
mulai kacau maka sebaiknya stop berpikirnya. Ambil air wudlu kemudian solat,
berdoa, berdzikir, memohon ampun, memohon petunjuknya. Kalau sudah tenang lagi,
baru dilanjutkan berpikirnya. Sekacau-kacau pikiran, silakan kacau karena
kacaunya pikiran adalah awal dari ilmu, tapi jangan biarkan hatimu walaupun
satu itu kacau. Karena kacaunya hati itu adalah godaan syaitan. Sehebat-hebat
kekacauan pikirmu perlu disyukuri karena itu pertanda bahwa engkau sedang
berpikir. Namun janganlah kacau itu turun ke dalam hatimu. Kalau pikiranmu
hatimu sudah mulai kacau, stop dulu, refreshkan pikiran, baru mulai lanjutkan.
Itulah pentingnya spiritualitas ditaruh pada tingkatan yang paling tinggi.
Jangan dipaksakan dalam kondisi pikiran kacau kita tetap berpikir. Tinjau
kembali “Elegi Hanya Doakulah yang Tersisa”, disana dikatakan oleh orang tua
berambut putih, ada dua cara mengatasi kekacauan pikiran. Yang pertama,
intensifkan dan ekstensifkan kerja pikiran anda secara maksimal. Yang kedua,
sudah jangan gunakan lagi pikiran anda.
5.
Pertanyaan ke lima dari
Saudara Nunung Megawati yatu “Bagaimana cara menggapai pikiran dan hati yang
bersih?”
Segala sesuatu
harus sesuai dengan kodratnya sesuai dengan takdirnya. Kemudian berikutnya
mengetahui prinsip-prinsipnya atau teorinya, beberapa prinsip yang telah dibuat
adalah sehebat-hebat pikiranmu janganlah engkau merasa hebat terhadap hatimu.
Ilmu dalam pikiranmu itu adalah urusan dunia. Kalau sudah masuk ke dalam urusan
akhirat, maka ilmu itu ada di dalam hatimu. Wahyu tidak diturunkan ke dalam
pikiran para nabi, tetapi ke dalam hatinya para nabi. Sedangkan untuk pikiran,
pekerjaanmu itu adalah tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis itu adalah setiap
yang ada dan yang mungkin ada. Dirimu adalah tesis, kalau dirimu tesis, diriku
adalah antitesis. Antara dirimu dan diriku ada apa, itulah sintesis. Belajar
berfilsafat adalah belajar menjelaskan. Ditemukan bahwa filsafat itu adalah
penjelasan itu sendiri. Maka ketika kita belajar membuat komen pada elegi-elegi
maka itulah sebenar-benar antitesis yang kita buat, serta sintesis-sintesis. Di
dalam pikiran berikhtiar melakukan sintesis sesuai dengan ruang dan waktunya,
ruang dan waktunya dibatasi oleh etik dan estetika dalam kerangka hatinya.
Damai di dalam hati dibingkai dengan doa. Apalah daya manusia bisa mencapai
damai dan bisa mencapai kejernihan tanpa pertolongan dari Tuhan.
6.
Pertanyaan ke enam
dari saudara Muhammad Munir yaitu “Apakah Teologi bilangan itu?”
Teologi
bilangan itu esa. Esa itu beda dengan satu. Esa itu adalah Tuhan ku. Itu
teologi daripada bilangan. Sosial matematika adalah hubungan antar orang,
hubungan antar orang itu. Maka apa yang aku pikirkan, apa yang engkau pikirkan
di dalam pikiranmu itu subyektif. Pikiran seseorang belum tentu sama dengan pikiran
orang lain. Jika pikiran seseorang sama dengan pikiran orang lain, maka itu
namanya pikiran yang obyektif. Misal 2 + 3 = 5 Itu benar apabila kita berpikir
matematika elementer. Berarti untuk 2 + 3 = 5, pikiran kita sudah mencapai
taraf berpikir obyektif. Subyektifmu sama dengan obyektifmu, karena sama dengan
pikiran orang yang lain. Agar mengerti apakah pikiran subyektif benar atau
tidak, kita perlu bicara, perlu menulis, perlu mendapat ujian, perlu melakukan
kegiatan publikasi. Agar menjadi pengetahuan obyektif itulah pentingnya
dipublikasikan.
7.
Pertanyaan ke tujuh
dari saudara Taufik Akbar yaitu “Bagaimana
bertanya yang baik tentang filsafat?”
Bertanya itu
bukan masalah baik dan tidak baik. Masalah baik dan tidak, kalau dipandang dari
segi filsafat itu adalah etik dan estetika. Etik dan estetika terikat oleh
ruang dan waktu. Bertanya itu harus sesuai dengan ruang dan waktunya. Kalau
tidak sesuai dengan ruang dan waktunya itu disebut pertanyaan yang buruk. Baik
dan buruknya filsafat ini bergantung pada sesuai dengan waktunya atau tidak.
8.
Pertanyaan ke tujuh
dari saudara Weli Meinarni yaitu “Yang tidak ada di dunia itu ada atau tidak?”
Berdasarkan
penjelasan minggu sebelumnya tentang perkembangan sejarah filsafat, dari jaman
Yunani sampai jaman sekarang, itulah dunia. Dunia yang merentang pada waktunya.
Immanuel Kant mengatakan kalau engkau ingin mengetahui dunia maka tengoklah ke
dalam pikiranmu. Jadi, dunia itu isomorfis dengan pikiranmu. Pikiran kita
dengan pikiran yang lain juga isomorfis. Yang tidak ada di dalam pikiran kita
masing-masing itu ada banyak sekali, tak hingga banyaknya meliputi yang ada dan
yang mungkin ada.